Awal Agustus 2024 bukan menjadi hal yang baik bagi Indonesia. Dua berita buruk tersebut perihal Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menurun dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia.
Pada 1 Agustus 2024, BPS telah merilis data IHK yang menunjukkan pelandaian yang cukup signifikan bahkan di bawah ekspektasi konsensus.
Secara tahunan (year on year/yoy), Indonesia tercatat mengalami inflasi sebesar 2,13% dan secara bulanan (month to month/mtm) tercatat mengalami deflasi sebesar 0,18%.
“Pada Juli 2024 terjadi deflasi 0,18%, deflasi terdalam pada 2024 dan deflasi ketiga beruntun,” ungkap Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Kamis (1/8/2024)
Sementara konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Juli 2024 diperkirakan mencapai 0,01% dibandingkan bulan sebelumnya.
Sedangkan inflasi secara tahunan diperkirakan akan lanjut melandai menjadi 2,42% pada Juli 2024.
Sejumlah analis menjelaskan deflasi dua bulan beruntun adalah sinyal jika daya beli masyarakat Indonesia tengah turun. Terlebih, sejumlah indikator menunjukkan adanya tekanan pada konsumsi.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan bahwa penurunan daya beli masyarakat karena kelas menengah ke bawah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan berujung pada penghasilannya yang menurun.
Hal ini juga dipertegas oleh Ekonom Bank Central Asia (BCA) Barra Kukuh Mamia yang menyampaikan bahwa pelemahan daya beli kebanyakan terjadi pada kelas bawah sementara kelas atas cenderung menahan belanja.
“Pelemahan itu mostly di kelas bawah, kalau kelas atas lebih menahan belanja (savingsnya naik dalam bentuk bonds),” papar Barra kepada CNBC Indonesia.
Lemahnya daya beli masyarakat juga terlihat dari sikap kurang konsumtifnya masyarakat terhadap barang.
Sebagai contoh yakni penjualan mobil yang relatif stagnan.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mencatat, penjualan mobil nasional tahun 2013 mencapai 1,23 juta unit. Dan sampai saat ini, angka itu belum terlampaui.
Sementara itu, produksi mobil nasional justru terus naik dan mencapai puncak di tahun 2022. Tercatat produksi mobil nasional mencapai 1,47 juta unit, naik dari tahun 2021 yang sebanyak 1,12 juta unit.
Foto: Perkembangan Industri Mobil di Indonesia Sumber: Gaikindo diolah oleh LPEM UI |
Tidak hanya daya beli/konsumsi yang tertekan, Barra juga menegaskan bahwa deflasi kali ini juga terjadi karena harga pangan yang mulai menurun akibat dari efek El Nino yang mereda. Lebih lanjut, pasar juga berekspektasi bahwa produksi beras global akan semakin membaik lagi.
Hal ini juga dipertegas oleh Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), Fithra Faisal yang mengatakan bahwa moderasi harga pangan menjadi faktor utama dibalik deflasi kali ini.
Kenaikan harga pangan yakni hanya sebesar 3,66%, turun dari 4,95% pada Juni dan merupakan yang terkecil dalam 11 bulan terakhir.
Inflasi juga melambat di beberapa sektor lainnya. Biaya terkait kesehatan naik dengan laju yang lebih lambat (1,77% vs. 1,89%), begitu pula dengan harga akomodasi dan restoran (2,28% vs. 2,31%), pakaian (0,99% vs. 1,09%), serta rekreasi dan budaya (1,49% vs. 1,50%).
Harga di sektor komunikasi dan layanan keuangan terus menurun, meskipun sedikit, yaitu 0,16% dibandingkan dengan -0,18% pada bulan sebelumnya. Karena sektor-sektor ini berfungsi sebagai indikator permintaan ekonomi.
SSI memperkirakan bahwa konsumsi yang tertunda, sejalan dengan penurunan indeks kepercayaan konsumen (IKK) dan pergerakan menurun kelas menengah.
Sejalan dengan Fithra, Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto juga menyampaikan bahwa deflasi terjadi akibat suplai pangan melimpah terutama memasuki masa panen raya sehingga harga beberapa komoditas (cabe merah, bawang merah/putih, tomat, daging ayam ras, telur ayam) mengalami penurunan
Apalagi kontribusi dari komoditas tersebut ternyata cukup besar terhadap inflasi indo yang berujung pada deflasi.
Selain sentimen buruk soal deflasi, angka PMI Manufaktur Indonesia yang mengalami kontraksi juga menjadi awan gelap yang membayangi Indonesia.
S&P Global hari ini Kamis (1/8/2024) telah merilis data PMI Manufaktur Indonesia, yang menunjukkan jatuh dan terkontraksi ke 49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur Indonesia terus memburuk dan turun selama empat bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 menjadi 49,3 pada Juli 2024.
Puncaknya adalah kontraksi pada Juli 2024 setelah PMI manufaktur Indonesia ada dalam fase ekspansif selama 34 bulan sebelumnya.
Sebagai informasi, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi atau berada di zona negatif.
Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, Paul Smith menjelaskan PMI mengalami kontraksi karena penurunan permintaan.
“Pesanan baru dan produksi turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun. Karena itu, para produsen bersikap hati-hati, dengan aktivitas pembelian sedikit dikurangi dan pekerjaan turun pada tingkat tercepat sejak September 2021,” tutur Paul, dikutip dari situs resminya.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang mengatakan bahwa PMI Manufaktur yang terkontraksi ini diakibatkan oleh rambatan efek suku bunga tinggi di global. Ketika global berada dalam era suku bunga tinggi, hal ini berdampak pada deflasi hingga pelemahan kondisi tenaga kerja.
Lemahnya situasi tenaga kerja di Tanah Air tercermin dari keputusan perusahaan untuk mengurangi jumlah staf untuk ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK).
“Produsen memilih untuk mengurangi aktivitas pembelian mereka pada Juli. Kondisi ini adalah yang pertama sejak Agustus 2021. Jumlah pekerja juga dipangkas dengan angka pengurangan yang terbesar dalam hampir tiga tahun. Ada banyak laporan tentang tidak diperpanjangnya kontrak karyawan yang sudah habis masa berlakunya,” ujar S&P.
Kendati Indonesia saat ini sedang dilanda dua sentimen buruk, Namun Myrdal menyarankan agar pemerintah dan Bank Indonesia (BI) merespon kondisi ini agar tidak lebih buruk terjadi.
Pemerintah perlu melakukan kebijakan yang akomodatif untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Lebih lanjut, pemerintah diharapkan mampu menjaga fiskal diikuti dengan listri, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg agar tetap stabil.
Sementara dari sisi BI, pemangkasan suku bunga pun diharapkan dapat terjadi di tahun ini. Jika hal tersebut terjadi, maka perusahaan dapat kembali beroperasi dengan normal dan perekrutan karyawan dapat kembali terjadi sehingga jumlah masyarakat yang menganggur akan berkurang.