Industri tekstil sedang mengalami kondisi sulit, bahkan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerjanya. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, sudah puluhan pabrik besar hingga ribuanĀ pabrik garmen skala kecil yang harus melakukan PHK hingga berhenti produksi.
“Di tahun ini udah banyak banget yang tutup. Industri menengah besar sudah 50 sekarang hanya di tahun ini. Kalau kita ngomong sama industri menengah kecil itu kan musiman jadi jauh lebih banyak, ribuan bahkan,” kata Redma kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/10/2024).
Kondisi itu membuat banyak perbankan yang enggan untuk memberikan pinjaman kepada pabrikan tekstil.
“Ya, itu pasti. Logiknya gini, kita nggak nyalaiin bank, orang tekstil nggak nyalahin bank. Ketika kita nggak bisa menguasai parkas domestik, kita nggak perlu ngomong ekspor dulu ya. Domestik itu kan bisa diatur, ketika pemerintah tidak turun atau tidak ikut campur supaya kita bisa berusaha menguasai domestik, bank punya jaminan apa?” Kata Redma.
“Kalo aset oke, dia ada jaminan. Tapi begitu pabriknya nggak bisa jualan, kan cash flow-nya nggak muter. Kalau cash flow-nya nggak muter, bisa jalan pakai apa? Ketika asetnya oke, dia bangkrut, asetnya di-takeover, dia ambil. Bank bisa jalanin nggak? Kan ini aset mangkrak,” lanjutnya.
Kabar terbaru PHK di industri tekstil nasional, dilaporkan terjadi di pabrik yang berlokasi di Margaasih, kabupaten Bandung, Jawa Barat. PHK ini menambah daftar buruh tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), yang terkena PHK sejak awal tahun 2024. Yang sebelumnya tercatat mencapai 15.114 orang hingga awal September 2024. Hal itu menjadi contoh terbaru menurunnya industri tekstil.
“Jadi, kita nggak nyalahin bank. Jadi, yang kita minta, pemerintah hadir supaya kita bisa menguasai parkas domestik, itu aja satu dulu. Nah, kalau kita mau ekspor, itu baru kita harus meningkatkan daya saing,” kata Redma.