Laju aktivitas manufaktur negara Asia Tenggara (ASEAN) dan Asia lainnya cenderung masih berada dalam zona kontraksi. Beberapa negara bahkan cenderung mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya.
Untuk diketahui, PMI manufaktur menggambarkan aktivitas industri pada sebuah negara. Bila aktivitas manufaktur masih kencang maka itu bisa menjadi pertanda jika permintaan masih tinggi sehingga ekonomi cerah.
Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan. Oleh karena itu, negara dengan PMI Manufaktur lebih dari 50 dianggap memiliki industri/manufaktur yang berjalan dengan baik.
Sementara jika nilai PMI Manufaktur kurang dari 50, maka aktivitas manufaktur sedang tidak baik atau dalam kategori kontraksi.
Berdasarkan S&P Global per November 2024, headline PMI Manufaktur ASEAN berada di angka 50,8 atau sedikit lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,5.
Hal ini menandai perbaikan kesebelas secara berturut-turut pada kondisi pengoperasian. Secara keseluruhan tingkat perbaikan tergolong kecil, meski tergolong paling kuat dalam tiga bulan.
Kenaikan indeks headline sebagian didukung oleh kenaikan solid dan kuat pada produksi manufaktur ASEAN pada November. Tingkat pertumbuhan pada bulan ini mengalami percepatan. Akan tetapi, tren permintaan tidak berubah, dengan pertumbuhan permintaan baru terus turun dari posisi tinggi pada bulan Juli dan hanya menunjukkan ekspansi marginal yang merupakan paling lemah dalam periode pertumbuhan sembilan bulan.
Tren permintaan tidak berubah berarti perusahaan berhati-hati menerima pekerja baru, sehingga lapangan kerja manufaktur menurun. Namun demikian, kenaikan output berarti bahwa perusahaan memperbarui aktivitas pembelian mereka setelah penurunan kecil pada bulan sebelumnya. Dengan demikian, dalam kedua hal, perubahan tergolong kecil secara keseluruhan.
Menanggapi data PMI Manufaktur ASEAN, Maryam Baluch, Ekonom S&P Global Market Intelligence mengatakan bahwa meski permintaan masih bertumbuh, tingkat pertumbuhan cenderung lambat ke posisi terendah dalam sembilan bulan.
Sementara jika dilihat lebih rinci, PMI Manufaktur negara di ASEAN seperti Malaysia, Indonesia, dan Myanmar berada di zona kontraksi dengan nilai indeks masing-masing sebesar 49,2, 49,6, dan 49,8 pada periode November 2024.
Sedangkan negara ASEAN lainnya, yakni Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina masing-masing memiliki nilai PMI Manufaktur sebesar 50,2, 50,8, 51, dan 53,8 untuk periode yang sama.
Tidak kalah pentingnya adalah China yang merupakan mitra dagang Indonesia, tampak mengalami kenaikan dalam PMI Manufaktur yakni dari 50,3 menjadi 51,5.
Ini juga merupakan ekspansi tercepat dalam aktivitas pabrik sejak Juni, didorong oleh pertumbuhan pesanan asing terkuat sejak Februari 2023 dan kenaikan ekspor yang terbarukan. Selain itu, pertumbuhan output mempercepat, mencapai level tertinggi dalam lima bulan.
Tingkat pembelian dan persediaan pembelian meningkat seiring perusahaan membangun stok keamanan. Namun, jumlah pekerja menyusut untuk bulan ketiga meskipun laju penurunannya moderat, dan pekerjaan tertunda terakumulasi untuk bulan kedua. Waktu pengiriman stabil setelah memanjang selama lima bulan terakhir. Di sisi harga, harga input naik paling tinggi dalam lima bulan, akibat kenaikan biaya bahan baku. Sementara itu, harga jual mencatatkan kenaikan tajam terbesar sejak Oktober 2023. Akhirnya, kepercayaan bisnis mencapai puncak 8 bulan berkat harapan akan kondisi ekonomi yang lebih baik dan kebijakan pemerintah yang mendukung.
Kenaikan PMI Manufaktur China ini menjadi hal yang positif bagi Indonesia yang merupakan mitra dagang, karena ketika aktivitas manufaktur di China membaik, maka diharapkan akan terjadi demand yang meningkat dan berujung pada nilai serta volume ekspor Indonesia ke China meningkat pula.
Hal ini terefleksi dari angka PMI Manufaktur Indonesia yang sedikit mengalami perbaikan yakni dari 49,2 menjadi 49,6 pada November 2024. Kendati mulai membaik, namun PMI Manufaktur Indonesia masih dalam kategori kontraksi lima bulan beruntun atau sejak Juli 2024.
Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, menggambarkan dua hal yang bertolak belakang.
Di satu sisi, kenaikan output sangat disambut baik, karena perusahaan meningkatkan produksi untuk menambah inventaris dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda menjelang diperkirakan adanya peningkatan penjualan dan permintaan pada tahun depan.
“Tapi yang kurang positif adalah kinerja penjualan yang terus melemah, yang turun untuk kelima bulan berturut-turut pada November. Hal ini menyebabkan perusahaan tetap berhati-hati dalam mempertimbangkan jumlah pekerja,” tutur Paul Smith, dikutip dari website resmi S&P.
Lebih lanjut, Paul menyampaikan bahwa perusahaan memilih untuk tidak mengganti karyawan yang keluar di pabrik mereka atau, dalam beberapa kasus, melakukan pemutusan hubungan kerja.
“Pada akhirnya, permintaan adalah kunci bagi manufaktur di masa depan. Tanpa peningkatan penjualan, kinerja sektor ini tetap lesu untuk jangka waktu yang tidak dapat diperkirakan meskipun ada optimisme dari perusahaan,” imbuhnya.