Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)n secara tegas mengatakan, akan menghentikan sifat ‘anomali’ dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang ada di indonesia.
Sewajarnya. pengelolaan sumber daya alam seharusnya dapat memberikan kesejahteraan dan memutar ekonomi wilayah sekitar bukan hanya mendapatkan dampak buruk semata akibat kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab.
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, Idris F Sihite menyatakan bahwa, berdasarkan hasil diskusi Kementerian ESDM dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dapat disimpulkan adanya anomali terhadap pengelolaan sumber daya alam di sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam.
Namun, angka kemiskinannya cukup tinggi, salah satunya adalah Provinsi Sumatera Selatan.
Menurut Idris, penghentian anomali pengelolaan SDA tersebut membutuhkan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.
Sihite mengungkapkan, anomali yang secara kasat mata ada di depan Indonesia yakni, Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki kekayaan cadangan batubara terbesar kedua di Indonesia sebanyak 9,3 miliar ton dengan produksi batubara tahun 2023 sebanyak 104,68 juta ton serta menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp9,898 triliun (iuran tetap sebesar Rp66,4 miliar dan royalti sebesar Rp9,832 triliun) tidak juga mampu mengurangi tingkat kemiskinan di provinsi ini.
Salah satu penyebab dari anomali tersebut menurut Sihite adalah banyaknya pertambangan tanpa izin di Provinsi Sumatera Selatan yang mencari keuntungan sesaat tanpa menghiraukan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab.
“Provinsi Sumsel merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan delik khusus (lex spesialis) di luar KUHP yang memuat sanksi pidana dengan beb (Pasal 158 s/d Pasal 164 UU No 3 Th 2020),” ujar Sihite mengutip website remis Kementerian ESDM, Senin (22/7/2024).
Guna melakukan penghitungan dampak kerugian negara, Sihite mengatakan Kementerian ESDM memiliki kemampuan mengungkap data baku, terukur, dan komprehensif untuk membuktikan secara riil kerugian negara ditimbulkan bukan sekedar perkiraan.
Sihite juga mengingatkan, Kementerian ESDM saat ini belum memiliki unit khusus yang membidangi penegakan hukum di sektor ESDM seperti halnya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Ia menekankan perlunya membangun sinergitas yang konstruktif dan berkelanjutan antara APH Kejaksaan (sebagai Penyidik, Penuntut umum maupun JPN) dengan aparatur Kementerian ESDM untuk mentransformasikan pengetahuan aspek teknis pertambangan (minerba dan migas) dan prinsip-prinsip good governance dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas masing-masing.