Masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir, selanjutkan akan dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk periode 2024-2029. Jokowi pun mematok target-target yang harus dicapai pemimpin RI baru nantinya untuk tahun 2025.
Dalam Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI di Gedung Nusantara MPR RI/DPR RI/DPD RI pada hari Jumat (16/8/2024) kemarin, terdapat beberapa poin asumsi dasar ekonomi makro (ADEM) 2025 yang akan menjadi tantangan baru bagi Presiden terpilih.
Sementara itu dalam posturRAPBN 2025, pemerintah mengusulkan pendapatan negara sebesar Rp2.996,9 triliun. Target penerimaan negara itu nantinya terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun dengan tetap menjaga iklim investasi dan kelestarian lingkungan serta keterjangkauan layanan publik.
Sementara belanja negara dalam RAPBN 2025 melonjak sebesar Rp3.613 triliun atau naik 8,66% dibandingkan APBN 2024.
Kenaikan belanja negara ini juga akhirnya berdampak pada defisit anggaran yang semakin melebar dari 2,29% (APBN 2024) menjadi 2,53% pada RAPBN 2025 atau dari Rp522,8 triliun menjadi Rp616,2 triliun.
Tantangan Global untuk Pemerintahan Baru
Prabowo akan mengambilalih kursi Presiden RI pada 20 Oktober mendatang. Pada saat itu, kondisi global diperkirakan masih diliputi ketidakpastian,
Dalam Konferensi Pers RAPBN 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, global environment masih sangat tidak pasti karena ada eskalasi antara blok Amerika Eropa dengan Blok China, Rusia. Bahkan sudah pecah perang di Ukraina dan Timur Tengah juga yang masih panas sampai saat ini.
Ia mengingatkan adanya peningkatan risiko global yang membutuhkan kewaspadaan dan upaya mitigasi lebih besar dari pengelola negara.
Terjadinya perang dagang, juga kenaikan instrumen tarif serta non-tarif, telah menciptakan kerentanan rantai pasok global. Di sisi lain dunia juga menghadapi kerentanan dari perubahan iklim yang bisa memicu krisis pangan, krisis energi. Belum lagi ditambah rezim bunga tinggi terutama di negara-negara maju.
“Kombinasi global disruption supply chain, lalu inflasi tinggi dan bunga tinggi, menggerus daya beli sehingga ekonomi dunia melemah di 3,1%. Bila dibandingkan dekade sebelumnya di atas 4%, sekarang hanya di 3,1%. Situasi ketidakpastian itu memicu volatilitas pasar keuangan, yield naik seperti yaag terjadi di Jepang beberapa waktu lalu,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025, Jumat (16/8/2024).
Di sisi lain, Indonesia berhadapan dengan berbagai faktor fundamental perubahan iklim teknologi digital AI maupun demografi.
Dalam dokumen RAPBN 2025 disebutkan dalam jangka pendek ada enam risiko besar yang datang dari perekonomian global. Di antaranya adalah tingkat suku bunga yang masih tinggi, eskalasi konflik geopolitik, peningkatan tensi perang dagang akibat isu overproduksi di Tiongkok, serta risiko-risiko yang berdampak struktural, terutama yang bersumber dari perubahan iklim, digitalisasi, serta penuaan demografi (ageing population).
1. Tingkat Suku Bunga yang Tinggi
Situasi ekonomi global masih dibayangi suku bunga tinggi. Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memang sudah mengisyaratkan pemangkasan suku bunga. The Fed mengerek 525 bps menjadi 5,25-5,50% sejak Maret 2022.
Kendati nantinya akan dipangkas, suku bunga saat ini sudah sangat tinggi sehingga pemangkasan tidak akan membuat suku bunga kembali ke level awal dalam waktu cepat.
Tingkat suku bunga oleh Bank Sentral Eropa (The European Central Bank/ECB), tingkat suku bunga acuan ECB masih berada di level 4,25%, lebih tinggi dari level prapandemi 0,00 persen.
“Tingkat suku bunga global yang tinggi berimplikasi pada tingginya cost of fund dan juga terbatasnya dukungan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan,” tulis RAPBN 2025.
Tingginya suku bunga global juga meningkatkan beban fiskal serta menyebabkan pembiayaan defisit menjadi lebih mahal.
2. Ketegangan Geopolitik dan Perang Dagang
Dunia diguncang ketegangan geopolitik dari berbagai sudut dunia dalam tiga tahun terakhir. Setelah perang Rusia-Ukraina meledak pada Februari 2022 muncul ketegangan terus menerus dari Timur Tengah. Perang Hamas-Israel meletus pada Oktober 2023. Ketegangan ini berlanjut ke Laut Merah hingga Jalur Gaza.
“Tensi geopolitik yang saat ini tengah berlangsung dapat memicu disrupsi rantai pasok, yang berdampak pada volatilitas harga komoditas,” tulis dokumen Nota Keuangan.
Tahun 2024 menjadi tahun politik dan tahun pesta demokrasi bagi Indonesia dan hampir separuh populasi di dunia. Lebih dari 50 negara akan memberikan suaranya pada tahun 2024. Negara-negara tersebut mewakili 46% populasi dunia dan 60% Produk Domestik Bruto (PDB) global.
Seperti diketahui, hasil pemilu di berbagai negara cukup mengejutkan dan diperkirakan bisa mengubah tata politik dunia.
Sejumlah gelaran pemilu di Eropa menghasilkan dinamika baru di mana petahana pun harus tumbang atau terancam dengan naiknya posisi rival yang menguat.
Pemilihan parlemen Uni Eropa digelar pada 6 hingga 9 Juni 2024. Pemilihan digelar di 27 negara anggota kekuatan multilateral regional itu dengan jumlah warga yang memiliki hak suara mencapai 373 juta orang.
Dalam gelaran itu, Partai Rakyat Eropa (EPP), yang merupakan gabungan dari Partai Kristen Demokratik di benua itu, unggul dengan perolehan 188 kursi dari 720 kursi yang tersedia.
Partai-partai sayap kanan dan sayap kanan memperoleh perolehan suara yang signifikan. Di Prancis, misalnya, koalisi yang mencakup Partai Renaisans pimpinan Presiden Emmanuel Macron hanya memperoleh 14,6% suara. Rassemblement National yang berhaluan sayap kanan, yang berkampanye dengan dukungan anti-imigrasi, memenangkan 31,3% suara.
Selain politik, ketegangan juga terjadi di sektor perdagangan. Eskalasi tensi dagang serta berkembangnya isu tekno-nasionalisme dapat menghambat laju perdagangan dan investasi global, serta memicu inflasi dan ketidakpastian.
3. Isu overproduksi di China
Dalam beberapa waktu terakhir, konsumsi domestik China mengalami pelemahan, sebagaimana diindikasikan oleh tingkat inflasi yang sangat rendah dan indeks penjualan retail yang menurun.
Indeks Harga Konsumen (IHK) menurun atau mencatat deflasi (month to month/mtm) tiga bulan dalam lima bulan terakhir.
Krisis sektor properti belum kunjung reda meskipun pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif
“Situasi ini mendorong Tiongkok untuk meningkatkan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonominya. Hal ini memicu permasalahan overproduksi, di mana Tiongkok ditengarai mengekspor kelebihan produksi ke negara lain,” tulis dokumen RAPBN 2025.
Fenomena overproduksi ini selanjutnya meningkatkan tensi dagang antara Tiongkok dengan negara maju, terutama AS dan Eropa, yang merasa bahwa produk dari China (yang dijual dengan harga yang lebih murah) dapat mengancam daya saing industri dalam negeri mereka (terutama industri teknologi dan energi terbarukan).
4. Risiko perubahan iklim dan digitalisasi
Prospek ekonomi global dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat jangka panjang, seperti dampak perubahan iklim, penuaan populasi terutama di negara-negara maju, serta digitalisasi dan perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
“Selain memberikan peluang untuk mendongkrak produktivitas ekonomi, tren tersebut juga memberikan tantangan bagi struktur ekonomi di masa yang akan datang,” tulis RAPBN 2025.
Perubahan iklim, misalnya, dapat memengaruhi produktivitas sektor pertanian dan kondisi kesehatan masyarakat, juga meningkatkan risiko melonjaknya anggaran publik untuk penanggulangan bencana.
Aktivitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim membuka peluang baru bagi pengembangan industri dan ekonomi hijau.
5. Penuaan demografi (ageing population)
Penuaan populasi di negara maju dapat mengubah pola konsumsi masyarakat serta permintaan terhadap barang-barang impor dari negara mitra.
Penuaan populasi juga dapat meningkatkan beban pada anggaran, melalui sistem pensiun dan alokasi belanja kesehatan. Di sisi lain, negara dengan komposisi penduduk yang berusia lebih muda dapat memanfaatkan fenomena tersebut untuk menarik investasi