Bumi yang kita tempati kini terasa semakin panas serta bencana alam akibat degradasi alam kian sering terjadi. Kondisi tersebut membuat pembicaraan dan diskusi terkait upaya untuk bisa memitigasi dampak lingkungan akibat dari perubahan iklim semakin marak diperbincangkan dalam berbagai forum.
Salah satu pembahasan yang mulai mengemuka adalah upaya memitigasi dampak perubahan iklim melalui kebijakan perdagangan yang tepat. Bila dipahami lebih komprehensif, aktivitas perdagangan memiliki dampak yang signifikan pada kondisi lingkungan hidup secara global.
Perdagangan internasional yang kian hari semakin lintas batas dan kompleks dengan berbagai dinamikanya memiliki kaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan isu lingkungan, karena dalam setiap aktivitas perdagangan pasti melibatkan produksi, transportasi, dan juga konsumsi terhadap barang maupun jasa yang terkait erat dengan dampak pada lingkungan.
Seringkali aktivitas perdagangan justru memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Meningkatnya emisi gas kaca misalnya, juga sangat terkait dengan aktivitas produksi dan juga transportasi barang yang diperdagangkan dalam jumlah besar.
Belum lagi aktivitas industri yang memproduksi barang untuk diperdagangkan secara global juga banyak menghasilkan limbah berbahaya. Kemudian eksploitasi sumber daya alam juga terjadi akibat dari permintaan global yang tinggi.
Terkait hal tersebut, saat ini sudah banyak negara yang menyadari pentingnya menggunakan instrumen kebijakan perdagangan dan ekonomi untuk mencegah semakin parahnya dampak dari kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim. Salah satu yang paling pesat dalam menerapkan peraturan perdagangan untuk menjaga lingkungan hidup adalah Uni Eropa.
Uni Eropa sudah menjadi pelopor sejak lama dalam kebijakan lingkungan yang ketat dengan menerapkan standar kualitas dan keamanan yang tinggi serta kewajiban labelisasi lingkungan pada produk-produk yang dipasarkan di wilayah tersebut.
Uni Eropa memiliki kebijakan pajak karbon untuk mendorong perusahaan mengurangi emisi karbon serta Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang bertujuan mencegah perusahaan memindahkan produksi ke negara dengan regulasi lingkungan yang relatif longgar.
Uni Eropa juga menerapkan kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang bertujuan untuk mencegah produk yang berkaitan dengan deforestasi masuk ke pasar Eropa. Komoditas pertanian utama yang tercakup dalam EUDR adalah minyak sawit, kacang soya, daging sapi, kakao, karet, kayu, dan kopi.
Beberapa negara yang berdekatan dengan Indonesia juga sudah mulai mengintegrasikan kebijakan perdagangan dan iklimnya seperti Australia melalui ketentuan lingkungan dalam Free Trade Agreement dengan negara mitra dagangnya, penerapan standar lingkungan yang ketat, investasi dalam energi bersih, serta pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Thailand juga memiliki strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan hijau yang berkelanjutan melalui program Bio-Circular-Green (BCG). Negara tersebut juga memiliki mekanisme pasar dan insentif fiskal untuk mendorong investasi hijau dan konsumsi produk ramah lingkungan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tentu menyadari pentingnya upaya melestarikan lingkungan yang tercermin dari besaran Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang ambisius, yakni sebesar 29% hingga tahun 2030 dengan upaya sendiri dan sebesar 45% dengan dukungan kerja sama internasional.
Saat ini Indonesia masih sangat tergantung pada batubara untuk menghasilkan listrik. Namun, sudah ada target ambisius untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi menjadi 23% pada 2025 dan menjadi 31% pada 2050 yang menunjukkan komitmen untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan walaupun transisi energi bukan hal yang mudah.
Sektor ekspor utama Indonesia juga memiliki intensitas emisi yang tinggi, yang berarti setiap pendapatan ekspor Indonesia menghasilkan gas rumah kaca yang cukup besar seperti pada sektor batubara, besi, dan baja serta produk kimia. Sebagian besar emisi berasal dari Co2, terutama dari sektor energi seperti pembakaran batubara.
Emisi yang tinggi dapat menjadi tantangan bagi daya saing ekspor Indonesia, karena semakin ketat regulasi lingkungan di negara tujuan ekspor, maka produk Indonesia dengan intensitas emisi tinggi akan semakin sulit bersaing. Meski begitu, masih ada peluang bagi Indonesia mengembangkan produk dengan intensitas emisi rendah seperti sektor minyak nabati dan produk pakaian.
Perdagangan Indonesia saat ini mulai menghadapi tantangan di negara tujuan ekspor yang menerapkan kebijakan perdagangan ketat seperti Uni Eropa dengan kebijakan EUDR. Total ekspor Indonesia ke Uni Eropa yang terkena dampak EUDR mencapai 2,9% yang berarti ada potensi kerugian ekonomi jika perusahaan Indonesia tidak mampu memenuhi persyaratan EUDR.
Berdasarkan data dari World Bank, nilai ekspor yang terkena dampak EUDR terhadap PDB Indonesia sekitar 0,7% yang menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap EUDR memiliki implikasi ekonomi yang signifikan. Produk-produk yang paling terdampak EUDR adalah minyak sawit (63%), kayu (19%), karet (13%), kopi (3%), dan kakao (2%).
Dalam upaya untuk menghasilkan kebijakan perdagangan yang dapat menjadi instrumen pelestarian lingkungan, Indonesia melalui Kementerian Perdagangan sebagai focal point berkolaborasi dengan World Bank, World Trade Organization, dan World Economic Forum dalam program Action on Climate and Trade (ACT) yang merupakan inisiatif untuk menggunakan kebijakan perdagangan dalam mengatasi dampak perubahan iklim dengan fokus pada mitigasi dan adaptasi serta mendukung tercapaikan target NDC dan rencana adaptasi nasional.
Melalui kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan integrasi kebijakan perdagangan dalam strategi iklim yang mendukung perdagangan hijau dan berkelanjutan. Kementerian Perdagangan jelas tidak dapat berjalan sendirian.
Sehingga dalam program ACT tersebut juga melibatkan kementerian/lembaga terkait untuk bersama-sama memberikan sumbangsih dalam mewujudkan perdagangan hijau yang sudah menjadi keniscayaan melalui kebijakan yang komprehensif dan saling mendukung.