Konferensi iklim dunia, COP yang ke 29, akan segera digelar pada November mendatang di Baku, Azerbaijan. Sejumlah topik akan mewarnai pagelaran forum tersebut.
Salah satunya adalah kontribusi pendanaan, dari negara industri besar bagi aksi iklim di negara-negara miskin. Diharapkan kesepakatan baru dapat dicapai untuk meningkatkan bantuan keuangan ke negara-negara dunia yang paling tidak mampu mengurangi emisi karbon dan beradaptasi dengan pemanasan global.
Perlu diketahui, saat ini dunia setidaknya membutuhkan dana sebesar US$ 100 miliar (Rp 1.567 triliun) per tahun untuk menekan pemanasan global. Di mana negara terkaya dan paling terindustrialisasi pada saat konferensi iklim PBB disusun pada tahun 1992, akan menjadi donor ke “negara miskin”.
Namun para donor utama seperti termasuk Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Kanada, Jepang, sepakat bahwa lebih banyak uang diperlukan. Kelompok ini menginginkan negeri lain, khususnya negara berkembang yang telah menjadi lebih makmur dan berpolusi dalam beberapa dekade terakhir- seperti China, Singapura, dan negara-negara Teluk yang kaya minyak seperti Arab Saudi- ikut serta dalam pendanaan.
“Sangat adil untuk menambahkan pihak kontributor baru, mengingat evolusi realitas dan kemampuan ekonomi yang sedang berlangsung,” tulis AS dalam pengajuan pada bulan Agustus kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), dikutip dari AFP, Selasa (8/10/2024).
Para diplomat dari negara maju lainnya juga telah menyuarakan hal ini. Mereka menyatakan bahwa daftar kontributor didasarkan pada gagasan lama tentang kaya dan miskin, dan siapa pun yang dapat membayar harus membayar.
Beberapa telah mengusulkan kriteria yang direvisi agar dapat digunakan sebagai dasar penilaian kontributor potensial. Seperti tingkat pendapatan, daya beli, atau emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet.
“Bagi sebagian pihak yang terlibat, ini adalah definisi literal dari negosiasi dengan itikad buruk,” kata analis dari Imal Initiative for Climate and Development, sebuah lembaga pemikir yang berpusat di Maroko, Iskander Erzini Vernoit.
“Hal ini telah menghabiskan banyak waktu tayang, dan banyak oksigen. Demi semua negara termiskin dan paling rentan di dunia, tidak adil untuk menyandera semuanya,” tambahnya.
Sebenarnya soal sumber donor ini memang masalah pelik. Di sisi lain, bagi negara-negara berkembang, siapa yang membayar “tidak dapat dinegosiasikan”.
Perjanjian iklim Paris 2015 menegaskan kembali bahwa negara-negara maju adalah pihak yang bertanggung jawab secara tidak proporsional atas pemanasan global hingga saat ini. Sehingga, merujuk aturan itu, mereka patut menanggung beban tersebut.
Dalam pernyataan bersama pada bulan Juli, China, India, Brasil, dan Afrika Selatan dengan tegas menolak upaya negara-negara maju untuk mengencerkan kewajiban hukum pendanaan iklim ke mereka, merujuk hukum internasional. Karenanya sejumlah pengamat meminta “pelunakan” sikap kedua kelompok ini.
Sebenarnya, China- seperti beberapa negara berkembang lainnya- juga membayar pendanaan iklim. Hanya saja mereka melakukannya dengan ketentuannya sendiri.
Antara tahun 2013 dan 2022, China membayar rata-rata US$ 4,5 miliar (Rp 70 triliun) per tahun kepada negara-negara berkembang lainnya Jumlah ini setara dengan sekitar enam persen dari jumlah yang dibayarkan negara-negara maju selama periode yang sama.
Tapi China tidak diharuskan melaporkan hal ini kepada UNFCCC. Sehingga ini tidak dihitung dalam target kolektif.