Laju manufaktur negara Asia Tenggara (ASEAN) mayoritas turun. Aktivitas manufaktur Indonesia bahkan tekoreksi Juli lalu.
Untuk diketahui, PMI manufaktur menggambarkan aktivitas industri pada sebuah negara. Bila aktivitas manufaktur masih kencang maka itu bisa menjadi pertanda jika permintaan masih tinggi sehingga ekonomi cerah.
Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan. Oleh karena itu, negara dengan PMI Manufaktur lebih dari 50 dianggap memiliki industri/manufaktur yang berjalan dengan baik.
Sementara jika nilai PMI Manufaktur kurang dari 50, maka aktivitas manufaktur sedang tidak baik atau dalam kategori kontraksi.
Berdasarkan S&P Global per Juni 2024, negara-negara di ASEAN cenderung mengalami ekspansi dengan nilai PMI Manufaktur di atas 50, kecuali Malaysia di angka 49,9.
Sedangkan pada Juli 2024, PMI Manufaktur ASEAN terpantau sedikit mengalami penurunan kendati masih di teritori ekspansif.
Tercatat PMI Manufaktur ASEAN berada di angka 51,6 pada Juli 2024 atau lebih rendah dibandingkan Juni 2024 yakni sebesar 51,7.
Berikut PMI Manufaktur ASEAN dan negara maju lainnya:
Sedangkan PMI Manufaktur untuk Juli 2024 terpantau beberapa negara mengalami penurunan bahkan ke level kontraksi, namun beberapa negara lainnya masih berada di zona ekspansif.
Vietnam, Thailand, dan Filipina merupakan negara yang masih terbilang cukup baik dengan angka PMI Manufaktur di atas 50. Namun berbeda halnya dengan Myanmar, Malaysia, dan Indonesia yang menurun bahkan masuk ke teritori kontraksi.
PMI Manufaktur Thailand berlari kencang dari 51,7 pada Juni 2024 menjadi 42,8 pada Juli 2024 sementara PMI Vietnam tidak berubah tetapi masih dalam fase ekspansif.
PMI Thailand yang berada di 52,8 adalah yang tertinggi dalam 13 bulan. Lonjakan PMI ditopang oleh pesanan baru yang masuk meningkat untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun. Produsen juga meningkatkan aktivitas pembelian dengan laju yang lebih cepat dan terus memperluas tenaga kerja mereka.
Produksi meningkat secara moderat pada Juli karena sektor manufaktur ASEAN melanjutkan urutan ekspansi yang dimulai pada Oktober 2021. Penerimaan bisnis baru meningkat secara solid, dengan laju tercepat sejak April 2023. Namun, pesanan ekspor baru terus menurun, memperpanjang urutan kontraksi yang ada menjadi 26 bulan.
Para produsen ASEAN melaporkan kenaikan jumlah tenaga kerja untuk bulan kedua berturut-turut, dengan laju penciptaan pekerjaan tidak berubah dari Juni. Peningkatan fraksional ini sejalan dengan meningkatnya jumlah bisnis yang outstanding.
Ekonom di S&P Global Market Intelligence, Maryam Baluch mengatakan bahwa pertumbuhan yang terlihat di sektor manufaktur ASEAN pada paruh pertama tahun ini berlanjut saat memasuki paruh kedua tahun 2024.
“Kondisi permintaan terus menguat, dengan pertumbuhan pesanan baru meningkat ke level tertinggi dalam 15 bulan, yang pada gilirannya memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan produksi mereka secara solid pada bulan Juli. Selain itu, perbaikan berkelanjutan di sektor ini mendorong produsen barang untuk menambah staf untuk bulan kedua berturut-turut, meskipun laju penciptaan pekerjaan tetap moderat,” ujar Baluch di situ resminya.
Sedangkan di Indonesia sendiri, PMI Manufaktur Juli 2024 terpantau ambruk dan masuk ke zona kontraksi dengan angka 49,3. Kontraksi ini pertama kali terjadi sejak Agustus 2021 atau hampir tiga tahun terakhir.
Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, menjelaskan PMI mengalami kontraksi karena penurunan permintaan.
“Pesanan baru dan produksi turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun. Karena itu, para produsen bersikap hati-hati, dengan aktivitas pembelian sedikit dikurangi dan pekerjaan turun pada tingkat tercepat sejak September 2021,” tutur Paul, dikutip dari situs resminya.
S&P menjelaskan menurunnya permintaan disebabkan oleh lesunya pasar. Kondisi ini membuat penjualan turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun. Ekspor menurun meskipun dalam skala yang lebih kecil. Adanya keterlambatan dalam pengiriman juga ikut menekan ekspor.
Hal ini semakin diperparah dengan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus bertambah. Pengurangan jumlah karyawan yang dilakukan perusahaan ditujukan agar perusahaan dapat tetap bertahan di tengah kondisi yang tidak pasti dan suku bunga yang tinggi.